Kiyo dan Botchan yang Bercerita dalam Kepalaku (Padang Ekspres, 13 Oktober 2013)

Gambar

Ilustrasi oleh Padang Ekspres, 13 Oktober 2013

AKU tak tahu kapan tepatnya dua tokoh cerita Soseki itu menghuni kepalaku. Seingatku, sepulang dari Denpasar. Dimulai ketika aku membaca kisah Soseki itu dalam pesawat yang membawaku kembali ke Soekarno-Hatta dan aku tertidur saat itu, ketika aku terbangun, Kiyo dan Botchan sudah ada dalam kepalaku. Entah bagaimana cara keduanya berada di sana. Mungkin saja saat aku tertidur, mereka meloncat dari buku dan masuk kepalaku.

Mereka menghuni rumah mungil yang terbuat dari kayu.

“Rumah dalam kepalamu benar-benar sesuai keinginan Kiyo. Rumah kayu berserambi indah dengan sebuah ayunan di halamanannya.”

Aku meringis ketika Botchan mengatakan itu sambil tersenyum. Bukan kata-katanya yang membuat kepalaku sedikit sakit, tapi ulah Kiyo, si perempuan tua yang tengah bermain ayunan. Suara derit ayunan yang melambung terdengar menyakitkan di lubang cupingku. Tak hanya itu, tawa girangnya membuat bulu kudukku meremang.

Mendengar tawa Kiyo yang memantul-mantul dalam kepalaku, aku langsung teringat Sadako, hantu legenda Jepang itu. Rambut putihnya yang panjang digerai, wajah keriput, mata berkilat. Ah, aku bergidik melihat wujudnya itu.

“Mengapa kalian menghuni kepalaku?”

Aku tak tahan lagi untuk bertanya demikian. Bukankah seharusnya mereka ada di dalam buku cerita Soseki? Atau setidaknya, mereka ada di kuil Yogenji di Kobinata, tempat mereka disemayamkan.

“Aku sengaja mengajak Kiyo pindah ke dalam kepalamu,” Botchan terus tersenyum. Entahlah, aku merasa senyumnya itu demikian licik.

“Mengapa?” aku mulai merasa sedikit gusar. Terlebih pada Kiyo yang sangat berisik. Ia tak mengenal lelah untuk bermain ayunan. Tidak siang, tidak malam.

“Karena aku ingin membahagiakan Kiyo. Kau tahu Soseki terlalu kejam mengakhiri ceritanya tentang kami. Kiyo meninggal sebelum aku berbuat apa-apa untuknya. Padahal aku ingin berbuat lebih banyak.”

“Kau sudah cukup membuatnya bahagia sebelum ia meninggal dunia.”

Sebelum Kiyo meninggal, Botchan sudah memenuhi keinginannya untuk punya rumah yang ada halaman –walau itu rumah sewaan.

“Siapa bilang?” Botchan mendengus. Ia memasukkan kedua tangannya ke balik kimono tipisnya, “pasti Soseki,” tukasnya.

Aku mengangguk. Memang seperti itulah yang Soseki ceritakan di bukunya.

“Soseki tak adil dalam menceritakan kami. Ia tak bercerita hal yang sesungguhnya tentang aku dan Kiyo. Dan itu membuatku kecewa,” Botchan merengut. Aku melipat kening pertanda bingung.

“Apa yang Soseki sembunyikan?”

Botchan menatapku tajam. Aku menunggu. Matanya berlari pada Kiyo yang masih saja bermain ayunan. Suara derit ayunan itu membuat kepalaku sakit, ditambah suara tawa cekikikannya yang melengking-lengking. Aku kadang merasa ingin melepas kepalaku dan meninggalkannya dalam kotak sampah atau membenturkannya hingga pecah.

“Aku dan Kiyo…”

Braaakkk!

Aku meringis. Kepalaku seperti dihantam benda keras ketika tubuh Kiyo terjatuh dari atas ayunan. Rasanya sangat sakit. Aku bahkan merasa kepalaku berputar-putar, ada puluhan burung pipit kecil yang mabuk sake beterbangan mengelilingi kepalaku. Suara mereka riuh, timbul tenggelam dengan jerit panik Botchan yang berlari penuh cemas ke arah Kiyo.

Perempuan tua berambut putih dengan wajah penuh keriput itu terkulai. Darah mengalir dari pelipisnya. Botchan tergesa membopongnya masuk ke dalam rumah kayu yang mereka huni dalam kepalaku. Setidaknya aku merasa sedikit ketenangan pasca kejadian itu. Suara derit ayunan dan lengkingan tawa Kiyo lenyap.

***

AKU tak mengerti dengan apa yang Botchan ceritakan padaku. Kupikir Soseki sudah cukup gamblang bercerita tentang hubungan mereka. Kiyo si perempuan tua yang mengabdi pada keluarga mereka. Dulu sebelum bekerja pada keluarga Botchan, Kiyo berasal dari keluarga berada dan nasib buruk menimpa Kiyo –aku tak tahu nasib buruk apa, Soseki tak mengatakan itu pada ceritanya.

Kiyo menyayangi Bothcan dengan kasih sayang yang luar biasa. Walau ayah dan ibu Botchan sudah kehilangan harapan pada Botchan, karena ia terkenal sebagai bocah yang susah diatur, brandalan, dan bodoh!

Sementara Botchan. Ah, untuk judul ceritanya saja Soseki sudah mengambil namanya. Isi cerita Soseki itu semua tentangnya dan sedikit tentang orang-orang di sekeliling Botchan. Lalu, apa yang disembunyikan Soseki?

Untuk sementara waktu, aku tak ingin memikirkan itu dulu. Aku ingin menikmati hari-hari tenang dengan kepala yang tak berisik. Usai kejadian Kiyo jatuh dari ayunan itu, aku tak mendengar lagi derit ayunan dan tawa melengking Kiyo. Aku tak perlu terjaga tengah malam karena ulahnya itu. Aku bisa tidur nyenyak.

Namun ketenangan itu lama-lama membuatku tak nyaman. Sepi itu terasa begitu menakutkan bagiku. Aku merasa seolah ada yang tidak beres dalam kepalaku. Apa aku mulai merindukan suara tawa Kiyo? Atau suara derit ayunan itu ketika mulai melambung. Mungkin juga aku rindu dengan ocehan tak jelas Botchan. Aku tak paham. Aku hanya merasa sepi ini seperti mengancam.

Kutunggu beberapa hari. Kiyo tetap tak muncul dari dalam rumah kayu itu. Ayunan yang ada di bawah pohon itu berayun-ayun sendiri, dipermainkan angin. Botchan pun tak tampak. Biasanya, ia duduk di serambi rumah, mengawasi Kiyo yang bermain ayunan dengan girang sembari menikmati semangkuk mi tempura panas buatan Kiyo.

Pada hari ketujuh raibnya Kiyo dan Botchan dari kepalaku, aku mengetuk kepalaku dengan keras. Aku sendiri tidak tahu mengapa aku melakukan itu? Seharusnya aku bahagia bila Kiyo dan Botchan pergi. Bukankah dengan demikian aku akan memiliki kepala yang tenang lagi? Tapi aku sedikit khawatir pada Kiyo. Perempuan tua itu terjatuh dari ayunan sebelum raib tiba-tiba. Satu hal lagi, Botchan belum menjelaskan apa yang Soseki sembunyikan tentang ia dan Kiyo.

“Kau sangat berisik rupanya!”

Seseorang menghardikku. Aku menghentikan tangan yang mengetuk-ketuk kepalaku. Itu suara Kiyo. Daun pintu rumah kayu itu berderit. Perlahan seraut wajah tua penuh keriput menyembul di balik daun pintu. Rambut Kiyo terlihat acak-acakan, uban kian ramai. Ada perban kecil di keningnya. Kutebak, itu pasti luka karena terjatuh dari ayunan beberapa hari lalu.

Kiyo keluar dari balik daun pintu. Wajahnya merengut tak senang melihatku. Sedikit tertatih, ia berjalan ke meja kecil yang ada di serambi, lalu ia duduk di belakang meja itu. Kimono Kiyo terlihat tebal hari ini, padahal cuaca cukup panas dalam kepalaku karena otakku sedikit melepuh mengerjakan rencana anggaran biaya proyek. Tapi sepertinya itu tak membuatnya gerah. Kiyo menyimpan tangannya di balik lengan kimono.

“Ada apa kau mengganggu istirahatku?”

“Aku sedikit mengkhawatirkanmu,” ucapku. Aku tak berdusta. Walau sebenarnya aku hanya ingin memastikan kalau Kiyo dan Botchan benar-benar sudah meninggalkan kepalaku. “Apa kau tak apa-apa?” aku berbasa-basi.

“Seperti yang kau lihat,” Kiyo menjawab dengan nada ketus.

“Aku tak melihat Botchan. Apa dia…”

“Botchan pergi untuk membelikanku kudapan manis daun bambu di Echigo,” Kiyo memotong kalimatku.

Aku menghela napas. Ternyata perempuan tua yang sakit pun bisa berbuat demikian manja.

“Kupikir, aku tengah ngidam.”

Aku tersentak mendengar ucapan Kiyo itu. Apa aku salah dengar? Kubersihkan lubang cupingku dengan telunjuk.

Kiyo menoleh padaku. Ia tersenyum malu. Tersipu-sipu. Aku meringis melihat tingkahnya itu. Tingkahnya persis seperti gadis belia yang tengah jatuh cinta. Mendadak bulu kudukku meremang.

“Apa maksudmu? Aku tak paham.”

“Apa perempuan setuaku masih bisa hamil?” ia tak menjawab pertanyaanku, malah balik bertanya.

Aku bergidik mendengar pertanyaannya. Pikiran buruk seketika melintas. Ah, tak mungkin. Rasanya sangat gila. Apa benturan di kepala Kiyo cukup keras saat ia terjatuh dari ayunan kemarin itu? Hingga membuatnya sedikit tak waras.

“Apa perempuan setuaku masih bisa hamil?” Kiyo mengulangi pertanyaannya. Aku masih terdiam, tak tahu harus menjawab apa. “Hei, kau! Apa kau tuli?” ia menghardikku lagi. Aku seketika tersadar.

“Apa maksudmu?” suaraku sedikit bergetar.

“Apa Botchan belum bercerita?” wajahnya kembali tersipu-sipu malu.

“Aku tak paham. Botchan hanya mengatakan Soseki menyembunyikan kisah sebenarnya tentang kalian.”

“Ah, Botchan itu. Ia memang punya sifat yang baik,” pipi keriput Kiyo merona.

Aku semakin tak mengerti dengan apa yang Kiyo maksudkan. Pikiranku menjurus kepada satu hal. Tapi aku sendiri tak berani menyimpulkannya ke arah sana. Terdengar menggelikan sekaligus menakutkan sekali isi kepalaku ini.

“Apa terdengar menakutkan bila kami saling mencintai?”

Aku menahan napas.

“Apa ini kisah yang Soseki sembunyikan tentang kalian?” tanyaku, tak yakin.

“Aku tak pandai bercerita secara detail,” Kiyo menjawab masih dengan wajah tersipu. Ia mengulum senyum. “Hei, kau belum menjawab. Apa perempuan setuaku masih bisa hamil?” Kiyo menutupi wajahnya dengan ujung kimono. Ia berusaha menutupi rona bahagia yang menyembul malu-malu.

Aku tak menjawab. Tak ingin menjawab. Kiyo dan Botchan dalam kepalaku ini sedikit tak waras. []

By AlamGuntur Dikirimkan di cerpen

9 comments on “Kiyo dan Botchan yang Bercerita dalam Kepalaku (Padang Ekspres, 13 Oktober 2013)