Rangkaian acara ASEAN-JAPAN Residency dan ASEAN Literary Festival 2016 memang telah usai pada tanggal 8 Mei 2016, pukul 22.00 WIB, dimulai 29 April 2016 – 8 Mei 2016. Saya sebagai salah satu peserta dalam rangkaian acara ini, tentu saja sangat bersyukur ketika semua acara dan program yang telah disiapkan panitia dapat dilaksanakan dengan baik dan meriah.
Banyak hal luar biasa yang saya dapatkan selama mengikuti program ini, tentu saja bagian yang paling menarik adalah ketika saya tinggal bersama penulis-penulis muda yang hebat dari negara-negara ASEAN, Jepang dan Timor Leste. Sesi diskusi yang paling membekas di benak saya ketika diskusi tentang sensor.
Negara-negara ASEAN pada dasarnya memiliki sejarah atau luka yang hampir sama. Jadi masalah dan isu sosialnya pun lebih kurang sama. Tentang diskriminasi agama, militer, intrik politik bahkan sampai pada kebebasan berpendapat dan menentukan jati diri.
Ada harapan baik yang muncul di benak saya ketika mendengar cerita dari para penulis muda ASEAN ini, tentang keinginan dan hal yang telah mereka lakukan demi terwujudnya kondisi yang lebih baik di negara mereka dan kawasan ASEAN.
Seperti yang dikatakan Julian McMahon dalam satu sesi diskusi ASEAN Literary Festival 2016, “The power of literature is to bring truth to the people.” Dan saya mengaminkan ucapan McMahon. Saya percaya, sastra dapat membawa “pencerahan” kepada manusia. Dari sastra kita bisa menemukan kembali kebenaran.
Saat sesi diskusi tentang sensor bersama Marry, Pak Abdul dan teman-teman peserta residency, saya tertegun ketika peserta secara bergiliran menceritakan kondisi sensor yang ada di negara masing-masing. Di negeri jiran, sensor dapat berubah sesuai dengan karakter pemimpin yang tengah berkuasa. Di negeri jiran lainnya, negara memberi kenyamanan hidup dan semua itu harus ditukar dengan “kebebasan” warganya untuk berpendapat. Di negara-negara peserta yang lain, mengalami nasib sedikit lebih baik, walau tetap saja belum sangat baik. Sementara di Indonesia? Isu LGBT, 65, feminisme dan kekerasan dalam agama menjadi hal yang diangkat oleh para penulisnya. Saat sesi itu berakhir, saya menarik satu kesimpulan : Ternyata negara-negara di ASEAN belum mampu menjadi rumah yang aman dan nyaman bagi penghuninya.
Saya jadi teringat dengan salah satu pertanyaan peserta diskusi di UHAMKA, yang lebih kurang bertanya : “Apa sastra memang mampu membangun peradaban?” Saat itu (seingat saya) Christian Cordero (Filipina) yang menjawab terlebih dahulu. Lalu saya menambahkan karena tiba-tiba teringat dengan tulisan Seno Gumira Ajidarma, “ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara.”
Ya, saya percaya sastra mampu membangun peradaban. Seperti yang diceritakan teman penulis dari negeri jiran, sensor di sana dapat berubah sesuai karakter pemimpinnya. Bukankah itu artinya “kebenaran” dapat dimanipulasi sesuai dengan siapa yang berkuasa? “Kebenaran” dapat diubah sesuai kebutuhan politik dan kekuasaan. Dan saya teringat dengan negara sendiri. Sudah sebaik apa kita mengenal “kebenaran” bangsa kita?
Beberapa hari kemudian, saat saya dan Pringadi Abdi Surya menjadi moderator dalam sesi diskusi bersama Budi Darma dan Triyanto Triwikromo, teman kami dari Timor Leste, Zelia Vital bertanya, “bagaimana sastra dapat disebut ideal?”. Pak Budi Darma dan Pak Triyanto memberikan penjelasan yang sangat bagus dan panjang. Saya merangkum penjelasan mereka dalam satu kalimat : “Sastra ideal itu adalah sastra yang mampu memotret zamannya dengan baik.”
Kita berharap, akan banyak lahir karya sastra yang ideal di tanah air, sehingga kelak, anak-cucu kita dapat belajar dan mencari “kebenaran” dari karya sastra.
Sedikit hal yang saya sayangkan adalah ketika kelompok tertentu berniat menghentikan program-program ASEAN Litetary Festival 2016 dikarenakan beberapa panel yang menurut mereka tidak sesuai dengan Indonesia. Bukankah kebebasan berpendapat sudah diatur oleh hukum dan negara? Tak ada yang melarang untuk berbeda pendapat. Karena karakter setiap individu itu berbeda. Menyatakan diri berbeda bukan dengan cara memaksa orang lain untuk sependapat. Bukan pula memaksa orang lain untuk bungkam dan bubar. Tentu akan lebih bijak dan dewasa ketika kita yang merasa tak sependapat, mengungkapkan opini atas perbedaan itu. Sampaikan di sesi diskusi argumen-argumen yang cerdas beserta data-data yang kita pegang, baik secara agama atau pun akademis. Bisa jadi, opini-opini kita atas perbedaan itu justru menjadi “cahaya penerang” bagi mereka yang berseberangan dengan kita dan mereka bisa kembali ke “jalan yang benar” versi kita. Sebab saya percaya, sikap anarkis (membubarkan, mengitimidasi) justru akan membuat orang lain yang berseberangan dengan kita semakin menjauh, bukan mendekat.
Saya pikir, sudah saatnya kita dewasa dan lebih terbuka pada perbedaan. Saya percaya, kita semua dapat melangkah menuju titik itu. [GA]
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.